Progam Studi Profesi Apoteker UII Kaji Keberadaan BPJS Kesehatan
Kegiatan seminar menghadirkan narasumber dari BPJS Kesehatan dan Pakar Syariah, yakni Kepala Unit MPKP BPJSK Cabang Utama Yogyakarta, Army Maria Ulfah, S.Farm, Apt. dan Pakar Keilmuan Islam UII, Drs. Asmuni MTh, MA. Seminar dibuka oleh Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UII, Drs. Allwar, M.Sc., Ph.D. dan dihadiri oleh mahasiswa, dosen serta para praktisi perapotekan di Yogyakarta.
Drs. Asmuni MTh, MA. dalam materinya, menyampaikan bahwa pemahaman unsur maisir pada BPJS oleh sebagian orang karena adanya spekulasi dan untung-untungan. Misalnya baru bayar beberapa kali, tapi mendapat pengobatan yang nilainya berlipat. Inilah oleh sebagian orang dikategorikan unsur pertaruhan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai syari’ah.
Disampaikan Drs. Asmuni MTh. MA., dalam akad tabarru’ keberadaan garar, jahalah tidak selalu menjadi pertimbangan. Apalagi garar dan jahalah tersebut dalam perspektif yang masih subyektif, artinya masih bisa diperdebatkan. Tinggal sekarang persoalan maisir yakni pertaruhan atau untung-untungan. “Jika seseorang yang tercatat sebagai peserta BPJS beberapa bulan, kemudian mengalami sakit, yang ia sendiri tidak menghendakinya apakah tepat dikategorikan sebagai maisir,” tuturrnya.
“Saya kira tidak seorang pun berencana untuk sakit, meskipun sakit itu sendiri tidak bisa dihindari. Jika terjadi kasus seperti ini lebih tepat dijastifikasi dengan kaidah fikih al-masyaqqatu tajlibu al-taisir atau kesulitan dapat menarik kemudahan,” paparnya.
Sementara berkenaan dengan penerapan denda keterlambatan yang akumulasinya berpotensi menjadi riba nasi’ah yang diharamkan oleh syari’ah seperti disampaikan Drs. Asmuni MTh. MA.. Klaim riba terhadap denda keterlambatan peserta BPJS dapat dibenarkan, akan tetapi klaim ini tidak mencerminkan konsistensi MUI sendiri. Karena meskipun dalam konteks yang berbeda MUI telah mengakui denda keterlambatan bagi nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran.
Dipaparkan Drs. Asmuni MTh. MA., fatwa No. 17/DSN-MUI/IX/2000 yang mengatur sanksi denda ini berdasarkan pada prinsip ta’zir, yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya. Untuk resiko riba yang akumulatif, dalam fatwa ini juga disebutkan bahwa denda keterlambatan tersebut tidak boleh menjadi pendapatan bank, melainkan dimasukkan menjadi dana sosial. “Mengacu pada fatwa ini, maka denda atas keterlambatan peserta BPJS dapat dibenarkan apalagi sejak awal diperuntukkan menjadi dana sosial,” jelasnya.
Sementara Army Maria Ulfah, S.Farm, Apt. dalam materinya memaparkan kajian JKN Tinjauan Perspektif Kesehatan. Mengutip UU No. 40/2004, Pasal 19, Jaminan Kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip Asuransi Sosial dan prinsip Kesetaraan memperoleh manfaat dan akses. Meninggkatnya layanan kesehatan menurutnya antara lain dilatarbelakangi pembangunan berwawasan kesehatan yang belum optimal, kesenjangan ekonomi tinggi, prilaku dan cara pandang terhadap kesehatan (Ignorance), transisi epidemiologi dan transisi demografi. (sumber:www.uii.ac.id)